Polemik aktivitas pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, kembali mengemuka. Di balik perdebatan lingkungan dan ekonomi, terdapat persoalan mendasar yang sering luput dari perhatian: tumpang tindih antara izin usaha pertambangan yang telah terbit puluhan tahun lalu dengan rencana tata ruang wilayah yang ada saat ini.
Pulau Gag, sebuah nama yang mungkin masih asing bagi sebagian orang, kini menjadi pusat perhatian. Pulau yang merupakan bagian dari gugusan kepulauan Raja Ampat, Papua Barat Daya ini menjadi lokasi aktivitas pertambangan nikel skala besar.
Namun, sorotan kali ini tidak hanya datang dari para aktivis lingkungan, tetapi juga dari kacamata perencanaan tata ruang yang menunjukkan adanya ketidakselarasan fundamental. Aktivitas pertambangan di pulau ini memiliki landasan hukum yang kuat dan berusia panjang. Izinnya tertuang dalam Kontrak Karya (KK) Generasi VII Nomor B53/Pres/I/1998, yang ditandatangani pada 28 Januari 1998. Setelah melalui berbagai proses, kegiatan operasi komersial resmi dimulai pada tahun 2018 oleh PT Gag Nikel, anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM).
Meski memiliki sejarah perizinan yang panjang, statusnya dalam dokumen perencanaan wilayah menimbulkan pertanyaan besar. Mari kita bedah dari perspektif tata ruang.
Langkah pertama untuk memahami skala isu ini adalah dengan melihat peta resmi. Melalui portal geospasial Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yaitu Geoportal Minerba, dapat diverifikasi bahwa hampir seluruh daratan Pulau Gag telah ditetapkan sebagai Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Artinya, secara sektoral, pulau ini memang dialokasikan untuk kegiatan ekstraktif.
Ini menjadi titik awal dari kompleksitas masalah: sebuah pulau secara de facto telah "diberikan" untuk konsesi pertambangan. Namun, bagaimana rencana tata ruang daerah memandang pulau ini?